Pilihan perempuan untuk menentukan sendiri masa depannya masih seringkali didominasi oleh opini-opini publik yang cenderung tidak mentolerir perasaan para perempuan.
Baru – baru ini saya menyimak channel youtube seorang psikolog lulusan terbaik UGM, yaitu Analisa Widyaningrum. Topik yang saya simak waktu itu adalah saat Analisa berkolaborasi dengan seorang influencer yang bernama Gita Savitri Devi.
Mereka membahas tentang bagaimana pandangan Gita Savitri yang memilih menjadi “free child” bersama suaminya. Tinggal di Jerman, apakah itu yang membuat pemikiran Gita Savitri jadi kebarat-baratan? Karena yang kita tahu selama ini memang sudah menjadi kodrat seorang perempuan setelah menikah untuk memiliki anak.
Bermula dari pembahasan bagaimana Gita Savitri membebaskan dirinya dari ekspektasi orang lain dan sebaliknya dia tidak mau berekspektasi berlebihan terhadap orang lain.
Sejak kecil Gita Savitri dididik untuk memiliki daya saing yang tinggi, baik di bidang akademik dan non-akademik. Meski dia tahu bahwa dirinya tak sebaik itu, dia termasuk pelajar yang malas-malasan belajar.
Namun karena tuntutan orang tuanya untuk selalu bisa menjadi orang yang dipandang hebat, maka setelah lulus dia mengiyakan saran orang tuanya untuk meneruskan kuliah di Jerman.
Menurut Gita yang waktu itu masih berusia beranjak dewasa saran dari ibunya untuk kuliah di Jerman mampu membuatnya terlihat hebat. Tanpa pikir panjang tentunya tentang bagaimana dia akan menjalani kehidupannya di Jerman.
Ternyata semua jauh dari yang diharapkan oleh Gita. Dia harus belajar Bahasa Jerman dulu sebelum kuliah dan setelah masuk kuliah pun tidak semudah yang dia bayangkan.
Dari situlah Gita Savitri mulai berubah pemikirannya. Dia tidak bisa lagi seperti dulu yang hanya sekedar dipandang hebat, tapi dibalik itu semua dibutuhkan perjuangan.
Pada akhirnya dia lulus kuliah dan bekerja di Jerman. Sebetulnya dia tidak berharap untuk bekerja kantoran yang pergi pagi pulang sore, dia lebih tertarik bekerja secara freelance. Namun mau tidak mau dia harus bekerja kantoran sesuai apa yang dia pelajari saat kuliah. Karena pemerintah Jerman memiliki kebijakan dimana lulusan perguruan tinggi harus bekerja sesuai skill yang dipelajari.
Singkat cerita pada tahun 2018 Gita menikah dan memilih tinggal di Jerman bersama suaminya yang juga berasal dari Indonesia. Karena kondisi ekonomi suaminya dulu yang tidak memungkinkan untuk meneruskan kuliah, maka suaminya pun harus meneruskan kuliah kedokteran setelah menikah dengan Gita. Dan Gita yang bekerja mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari.
Kondisi tersebut mungkin terdengar cukup tabu bagi masyarakat Indonesia dimana perempuan yang bekerja dan suami sekolah. Meski banyak yang mengalaminya pun, tetaplah pemikiran yang masih terbilang konservatif itu tidak bisa dihindari.
Perempuan tidak bisa memungkiri bahwa dia harus mendengar dari tetangga-tetangga atau bahkan keluarga besar mereka yang diam-diam atau terang-terangan membicarakan urusan rumah tangganya.
Terlebih lagi Gita Savitri memilih untuk tidak memiliki anak dan hal itu didukung penuh oleh suaminya. Menurut penjelasannya di channel Analisa tersebut, dia dan suaminya memilih untuk tidak memiliki anak karena dia tidak ingin berekspektasi lebih pada anaknya kelak.
Gita menuturkan bahwa selama ini belum ada alasan yang kuat dari orang-orang yang dia tanyai kenapa memiliki anak. Jawabannya masih seputar, “ya nanti kalau tua siapa yang ngurus kalau bukan anak?” Bahkan ibu kandung Gita pun tidak bisa memberikan alasan kuat kenapa beliau memilih memiliki anak melalui jawabannya “tidak ada pilihan lain, ya sudah sewajarnya setelah menikah dan punya anak”.
Sebagai seorang yang berpikiran kritis tentunya jawaban dari orang-orang yang dia temui belum bisa memuaskan pertanyaan dalam benaknya kenapa dia harus memiliki anak. Terlepas dari keimanan Gita Savitri yang seorang muslim, dia tentunya percaya bahwa anak adalah pemberian Tuhan, tetapi sebagai manusia menurut Gita harus punya rasa tanggung jawab bagaimana dia akan membesarkan anaknya yang merupakan titipan dari Tuhan YME.
Alasan-alasan besok kalau sakit bisa diurus anak, besok kalau sudah tua ada anak yang mengurus, dll. Hal tersebut menurut Gita Savitri terlalu berekspektasi dan membebani anak. Tidak seharusnya sebagai orang tua berpikir diberi balas jasa dari anak-anak yang dia rawat dan besarkan.
Bagi yang penasaran bagaimana cerita selengkapnya dari sosok Gita Savitri ini, silahkan kunjungi langsung channel youtubenya.
Stigma masyarakat bahwa perempuan adalah seorang yang bertugas mengurus rumah tangga dan melahirkan anak seolah ditampik oleh Gita Savitri.
Sebenarnya masih banyak stigma masyarakat yang memandang perempuan itu beranekaragam, seperti perempuan yang sudah berkarier biasanya rumah tangganya berantakan karena dia tidak mengurus suami dan anak-anaknya, perempuan yang suaminya penghasilannya pas-pasan harus mau cari sampingan untuk bantuin suami, perempuan itu lebih baik banyak di rumah, dll.
Namun kita batasi pembahasan kali ini pada bagaimana perempuan dihadapkan pada pilihan bekerja atau tidak dan memiliki anak atau tidak.
Perempuan Punya Pilihan Untuk Bekerja Atau Tidak
Tentunya sudah ada konsekuensinya jika perempuan memilih bekerja atau tidak setelah menikah. Tapi ternyata banyak perempuan yang tidak siap dengan berbagai konsekuensi yang hadir dalam hidupnya.
Jika memilih bekerja, perempuan harus lebih banyak memiliki tenaga untuk bekerja dan mengurus rumah dan anak. Padahal dia dan suami sama-sama bekerja, tetapi perempuan memiliki tugas tambahan selain pekerjaan kantornya. Kenapa tidak bisa urusan pekerjaan rumah ini ditanggung bersama dengan suami? Sama-sama capek di kantor, sama-sama capek di rumah. Bukannya suami malah minta lebih santai berada di rumah dan dilayani sepenuhnya oleh istrinya yang juga bekerja. Belum lagi jika ada orang tua dari suami dan tetangga-tetangga yang suka berkomentar kalau urusan rumah terlihat tidak beres dan parahnya yang disalahkan adalah perempuan. “Kenapa nggak resign aja dia buat ngurus anak-anaknya di rumah?”
Kondisi ini seringkali membuat para istri yang tadinya bekerja di kantor memilih mundur, resign, dan balik kanan memilih 24 jam berada di rumah. Namun bukan berarti yang memilih resign ini mengalami kemunduran ya, tapi hanya apa alasan dibalik resignnya seorang perempuan yang bekerja. Karena bisa jadi pilihan ini membuat perempuan berubah jadi sosok yang “powerless”, merasa bukan siapa-siapa, bosan, dan tidak bahagia.
Berbeda dengan pilihan perempuan yang tidak lagi bekerja karena niatnya bersumber dari dalam hatinya, bukan karena terpaksa dan menuruti omongan orang lain. Mungkin dia ingin lebih banyak di rumah dan bekerja dari rumah. Pastinya tidak akan mengalami stress dan mengganggu kesehatan mentalnya sebagai perempuan.
Beda lagi urusannya ketika perempuan yang memilih tidak lagi bekerja setelah menikah karena suaminya punya penghasilan yang cukup dan dia tidak memiliki keinginan untuk cari uang, tetapi dia adalah lulusan perguruan tinggi. Pasti ada saja komentar orang lain, sudah sekolah tinggi-tinggi malah ujung-ujungnya di dapur. Padahal mereka yang cuma bisa berkomentar tidak tahu pasti kegiatan 24 jam perempuan itu, bisa jadi ada hal produktif lainnya yang mendasari seorang perempuan bergelar S1, S2, bahkan S3 memilih tidak bekerja di luar mencari uang.
Jadi serba salah kan mau pilih yang mana?
Perempuan Punya Pilihan Untuk Memiliki Anak
Anugerah Tuhan ini masih sering tidak diterima dengan baik oleh manusia. Anak seolah menjadi objek keturunan yang ketika lahir tidak diberi kehidupan yang layak oleh orang tuanya dan ketika beranjak dewasa dituntut untuk membalas budi atas kebaikan-kebaikan yang orang tuanya pernah lakukan.
Mungkin pendapat itu yang membuat Gita Savitri mengurungkan niatnya untuk segera memiliki anak. Namun dia pun tidak menolak jika suatu hari Tuhan hadirkan di tengah keluarga kecilnya.
Pada kenyataannya seorang perempuan yang setelah menikah tapi tidak kunjung ada momongan, akhirnya mendapat omongan dari orang lain.
“Kok belum punya anak? Ditunda ya? Nggak baik lho nunda-nunda.”
“Kamu kapan mau punya anak? Keburu tua lho nanti.”
Padahal apakah mereka tahu bahwa pasangan itu sedang berusaha mati-matian untuk punya anak. Apakah mereka juga tahu bagaimana sebenarnya perasaan perempuan yang di dalam lubuk hatinya sangat menginginkan anak dan dia berdoa setiap malam agar Tuhan mengabulkannya?
Jadi menurut saya orang lain tidak perlu kok tanya-tanya hal itu kepada pasangan, terlebih pada perempuan. Toh kalau sudah ada anak juga mereka bisa lihat sendiri.
Selain itu, perempuan pun juga bisa memilih untuk tidak memiliki anak karena alasan-alasan tertentu, seperti penyakit yang sedang diderita, kondisi yang tidak memungkinkan, dan hal lainnya.
Malahan ada juga yang disebut egg freezing yang bisa perempuan pilih untuk merencanakan masa depannya. Pilihan ini bisa dipilih oleh para perempuan, baik yang sudah menikah atau masih single.
Pembahasan egg freezing ini juga terbilang masih tabu di Indonesia karena pemikiran masyarakat yang masih konservatif.
Pada artikel tentang pengalaman seorang perempuan Indonesia yang memutuskan untuk egg freezing di usianya yang menginjak 37 tahun, saya menemukan fakta bahwa ternyata menanyakan nama suami saat berkunjung ke dokter kandungan itu adalah hal yang sensitif dan tidak diinginkan oleh perempuan. Karena kan tidak selalu perempuan yang sudah menikah yang butuh memeriksakan kandungannya atau sekedar berkonsultasi.
Hal – hal yang masih tabu semacam ini ternyata turut andil dalam pembatasan pilihan perempuan. Perempuan jadi tidak percaya diri jika sudah lama single, sudah berumur tapi belum menikah, sudah menikah tapi belum punya anak.
Padahal itu semua adalah pilihan perempuan. Opini yang menjustifikasi pilihan perempuan seolah menuntut perempuan harus seperti apa. Meskipun dituruti perempuan tetaplah menjadi objek yang pantas disalahkan atas pilihan-pilihannya.
Jadi perdebatan soal perempuan bekerja dan ibu rumah tangga sebenarnya sudah tidak perlu lagi. Karena tergantung dengan kebutuhan rumah tangga itu sendiri dan apa yang dipilih oleh pasangan suami istri itu. Begitu pula sebagai suami juga harus mentolerir apa yang diinginkan istrinya. Tugas suami bukanlah membuat stress istri tapi membuatnya bahagia.
Terlebih pembahasan soal perempuan yang menikah harus punya anak, sebenarnya itu sudah melebihi batas dan terbilang mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Itu semua sebenarnya adalah budaya yang dibangun oleh masyarakat. Pada kenyataannya saat ini traditional minded sudah tidak sesuai lagi diimplementasikan.
Sumber :
https://greatmind.id/article/perempuan-punya-pilihan
https://www.annisast.com/2013/09/perempuan-juga-punya-pilihan.html