Pakistan bukan lah negara satu-satunya yang masih menggunakan tradisi pernikahan dini. Di Indonesia pun pada wilayah wilayah tertentu masih tersisa tradisi ini yang tidak hanya mengganggu kesehatan jiwa, mental, dan fisik. Bahkan beberapa negara di Asia seperti, Myanmar, Kamboja, dan Vietnam masih juga menjalankan perdagangan perempuan yang dijual melalui pernikahan palsu.
Ada 2 alasan yang bisa dikaji mengapa negara Pakistan memiliki budaya menikahkan anak anak perempuan dibawah umur.
Pernikahan Dini dengan Kerabat Sendiri
Alasan pertama mengapa anak perempuan di Pakistan dinikahkan pada usia dini, karena orang orang kaya di Pakistan tidak ingin hartanya berpindah jika nanti anak perempuannya menikah dengan lelaki yang kastanya lebih rendah. Sehingga tidak jarang perempuan Pakistan yang belum genap berusia 20 tahun tetapi mereka sudah harus menikah. Upaya menghindari berpindah kekayaan itu akhirnya mereka selesaikan dengan cara menikahkan anak anak perempuannya dengan lelaki pilihan orang tuanya. Bahkan jika memang harus menikah dengan lelaki yang masih tergolong kerabat sendiri itu pun dimungkinkan. Motif pernikahan dini ini karena status sosial antara perempuan dan laki laki.
Keluarga Muniba Mazari tidak diketahui secara pasti darimana asal keluarga mantan suaminya, apakah masih satu kasta atau malah kerabat sendiri. Hal ini karena Muniba Mazari tidak ingin kehidupan pribadi masa lalunya dengan mantan suaminya diketahui oleh publik untuk menghindari hal hal yang tidak diinginkan.
Kondisi Ekonomi
Alasan kedua adalah karena kondisi ekonomi. Sebenarnya hampir sama dengan status sosial, hanya saja dibedakan jika alasan pertama karena tidak ingin keluarga perempuan yang sudah kaya menjadi miskin karena anak perempuannya menikah dengan lelaki yang kastanya lebih rendah.
Namun alasan kondisi ekonomi ini karena memang kemiskinan yang masih mendominasi masyarakat di Asia, khususnya di Pakistan.
Di dorong oleh mudahnya warga China yang saat ini bisa masuk ke negara Pakistan dengan proyek China Pakistan Economic Corridor (CPEC) untuk pembangunan jaringan pelabuhan, jalan, kereta api, dan proyek proyek energi lainnya.
Di tengah gelombang masuknya puluhan ribu warga negara China ke negara itu adalah karena sekutu dekat dan kebijakan visa-on-arrival yang telah mendorong para pengusaha dan profesional yang tidak terkait dengan proyek CPEC turut membanjiri Pakistan.
Menurut sumber berita, ada juga beberapa warga China yang diyakini sengaja bepergian ke Pakistan untuk mencari calon istri. Warisan kebijakan satu anak yang diterapkan di China selama satu dasawarsa disertai preferensi sosial untuk anak laki laki telah menciptakan masyarakat yang tidak seimbang, dimana jutaan pria tidak dapat mendapatkan istri.
Jalan yang begitu mudah untuk masuk ke Pakistan ini telah menciptakan titik baru berupa perdagangan manusia. Dimana para perempuan usia dibawah umur, kebanyakan adalah perempuan kristen, dijanjikan pernikahan dengan lelaki China oleh seorang pendeta. Namun saat tiba di China, mereka mendapatkan kenyataan bahwa mereka harus melayani laki laki lain atas perintah suaminya tersebut. Dengan alasan suaminya sudah membeli dirinya dengan harga yang mahal, bila istrinya tidak mematuhi untuk berhubungan dengan laki-laki lain, maka istrinya akan dibunuh dan diambil organ tubuhnya untuk dijual sebagai ganti rugi atas pembeliannya di Pakistan.
Sungguh perbuatan yang jauh dari moral ketika orang orang China malah memanfaatkan kondisi ekonomi para keluarga perempuan Pakistan. Mereka berlindung dibalik kedok persahabatan antara kedua negara, yaitu Pakistan dan China.
Pada tahun 2018 seorang perempuan asal Pakistan, Hadiqa Bashir (18 tahun), berhasil melarikan diri dari jeratan keluarga yang memaksanya menikah pada usia 11 tahun. Pada masa pelariannya itu, ia mendirikan komunitas khusus perempuan, Girls United of Human Rights, yang gencar mengkampanyekan perlawanan terhadap pernikahan dini. Dia ingin mengubah pandangan orang-orang dan cara mereka berpikir bahwa perkawinan anak bukanlah solusi yang tepat. Apalagi pernikahan yang dilakukan pada anak usia di bawah 12 tahun.
Komunitas dan kampanye Girls Not Brides seperti yang dilakukan Bashir berupaya mengubah cara pikir orang dewasa, terutama para orangtua agar melindungi anak perempuannya dengan lebih baik lagi. Bagaimana pun anak perempuan berhak bersuara dan mendapat perlindungan yang layak.
Pernikahan usia dini juga terjadi pada perempuan asal Pakistan yang tinggal di Austria. Sabatina, diusianya yang ke 15 tahun, dia harus menerima perlakuan diskriminatif dari orang tuanya bahwa menggunakan t-shirt dan jeans atau bereksplorasi dengan make up sama halnya seperti seorang pelacur. Begitu juga dengan ketika memilih kegiatan ekstrakurikuler kelas berenang dan akting yang dianggap sebagai kegiatan hina.
Keadaan Sabatina saat itu lebih buruk ketika ibunya menemukan buku hariannya yang berisi bagaimana dia pernah mencium seorang laki laki yang ditaksirnya di sebuah taman sepulang sekolah. Ibunya mencekik leher Sabatina, menendang, dan membenturkannya ke dinding, serta menyebut dirinya pelacur. Dampaknya adalah ibunya menjodohkannya dengan alasan saat ibunya seusia dirinya juga sudah siap menghadapi perjodohan.
Sabatina memilih untuk berontak, dia tidak tinggal diam menghadapi perjodohan itu. Dia bertahan pada pendiriannya sampai mati bahwa dia tak akan mau dijodohkan, meski harus berkali kali harus dihajar secara fisik dan verbal, seperti saat ibunya menemukan sebuah t-shirt yang dianggap terlalu ketat dan menghukumnya dengan melempar sepatu ke wajah Sabatina.
Pendirian Sabatina yang kokoh ini dianggap sebagai pembangkangan yang membuat malu keluarganya di hadapan sesama keturunan Pakistan lainnya yang tinggal di Austria. Hal ini membuat ibunya semakin bertindak kejam terhadap Sabatina. Sabatina pun pernah dipukuli di depan banyak mata keluarganya saat berkunjung ke salah satu rumah sanak saudaranya di Pakistan, karena dia dianggap sebagai pelacur akibat diejek dan disoraki sekumpulan lelaki, padahal baju yang dikenakan sopan. Setelah ibunya selesai memukulinya, berganti ibunya menyakiti dirinya sendiri sambil berteriak bahwa dia telah melahirkan seorang pelacur.
Kejadian berikutnya adalah Sabatina akhirnya dimasukkan ke sebuah sekolah islam seperti pondok pesantren. Hanya berselang 3 bulan Sabatina berada di sekolah tersebut, lalu dia dikeluarkan karena mogok makan. Dan dia kembalikan pada orang tuanya. Diam-diam Sabatina telah merencanakan sesuatu dengan pura-pura menerima perjodohan dan mencari celah agar bisa melarikan diri.
Selama masa pelarian diri itu, dia tinggal di sebuah penampungan dan mulai bekerja di sebuah kafe sambil terus siap menerima serangan tiba-tiba dari orangtuanya yang mendadak sering menemuinya di tempat kerja dan masih saja memaksanya untuk menikah. Usianya saat itu sudah 18 tahun dan baginya orangtuanya seperti sepasang setan yang menghantui hidupnya.
Sabatina akhirnya berhasil melarikan diri ke Vienna dengan bantuan teman-temannya. Dia mengganti namanya, berpindah agama ke Katolik, dan mulai menerbitkan buku berjudul My Fight for Faith and Freedom pada Mei 2010 lalu. Terbitnya buku tersebut sempat berbuntut pada tuntutan orangtuanya atas pencemaran nama baik, tetapi pada akhirnya dimenangkan oleh Sabatina. Selanjutnya dia mendirikan sebuah yayasan yang dinamakan Sabatina seperti namanya, untuk memberikan perlindungan bagi perempuan lain yang terkekang dengan sistem perjodohan orang tua mereka.
Hingga kini pun hidup Sabatina yang banyak dihabiskan di belahan Benua Eropa, masih belum bisa dibilang tenang, karena dia masih saja mendapat ancaman pembunuhan dari ayahnya. Sehingga dia harus menggunakan nomor telepon temporer bila akan melayani permintaan interview di sebuah media dan selalu didampingi oleh pihak kepolisian kemana pun dia pergi. Hidupnya pun harus berpindah pindah tempat, dari rumah temannya yang satu dan lainnya agar keberadaannya tidak terlacak. Dia pun menyadari bahwa inilah harga yang harus dibayar bila ingin memperjuangkan kebebasan dan menjunjung tinggi keyakinan yang dia percaya.
Cerita kisah hidup Sabatina yang harus merasakan paksaan perjodohan diusia dini dari orangtuanya ini juga menjadi bukti bahwa masih banyak kisah lainnya, seperti yang Muniba Mazari alami. Para perempuan Pakistan harus mau dinikahkan pada usia dini, jika menolak maka konsekuensinya harus menanggung ancaman pembunuhan dari orangtuanya (honour killing). Karena anak perempuan Pakistan jika menolak perintah orangtuanya akan dianggap membuat malu keluarga dan dia pantas mendapatkan hukuman mati.
Terlepas dari bagaimana Sabatina yang berasal dari seorang keluarga Islam memilih berpindah menjadi agama Katolik, kehidupan Sabatina yang cukup menderita karena paksaan perjodohan dari orangtuanya. Masa kecilnya yang penuh siksaan dari orangtuanya karena sebuah nilai tradisi yang dipaksa ditanamkan padanya.
Dilihat dari nilai yang coba ditanamkan padanya sejak kecil sebetulnya adalah nilai yang baik, seperti seorang anak perempuan tidak sepantasnya menggunakan celana jeans dan t-shirt yang ketat, anak perempuan tidak sepantasnya mencium laki-laki, dan contoh nilai lainnya. Dalam hal ini yang menjadi keliru adalah hukuman yang diberikan kepada anak perempuannya ketika melakukan hal-hal diluar kepantasannya, maka bersiap-siap lah untuk mendapatkan hukuman fisik dan verbal dari orangtuanya, tak segan-segan pula para orang tua menghukumnya di depan orang banyak, yang pastinya akan membuat si anak merasa malu dan merasa rendah diri. Akibatnya anak akan menjadi berontak jika dia tidak memilih diam dan mematuhi apa yang orangtuanya perintahkan.
Berbeda dengan Muniba Mazari yang memilih untuk diam dan mematuhi segala yang diperintahkan oleh orangtuanya. Dia memilih melakukan pernikahan itu demi kebahagiaan orangtuanya. Jika Muniba Mazari bukan lah perempuan Pakistan yang patuh pada orangtuanya, mungkin saja Muniba Mazari menjadi salah satu korban honour killing di Pakistan.
Begitu pun dengan cita-citanya semasa kecil, Muniba Mazari bercita-cita untuk menjadi seorang artis atau seniman, dia suka melukis tapi tak pernah ada kesempatan untuk mengekspresikannya dalam sebuah lukisan yang nyata. Cita-cita itu hanya menjadi sebuah mimpi indah bagi Muniba Mazari yang harus siap dia kubur setelah pernikahan karena perjodohan itu dilaksanakan.
Masa depan dalam kacamata Muniba Mazari saat dia berusia 18 tahun adalah masa depan yang tak pernah bisa dia tebak arahnya. Dia hanya bisa menjadi anak penurut bagi orangtuanya dan setelah menikah pun dia beranjak dewasa menjadi wanita penurut bagi suaminya. Tidak ada yang salah dengan ini, karena dalam Islam pun kodrat seorang anak perempuan dan wanita memang begitu. Namun yang perlu diubah adalah bagaimana didikan dan paksaan yang melukai fisik dan hati seorang anak perempuan. Pernikahan usia dini tentu bukan lah solusi yang tepat jika orang tua menghendaki anak perempuannya menjadi penurut. Ada banyak cara lain yang bisa digunakan agar anak-anak perempuan pun dianggap sebagai manusia seutuhnya yang memiliki hak dan kebebasannya dalam berbicara dan mencari apa yang menjadi kebahagiaan dirinya.