Tentang semua pertanyaan yang mulai menghujanimu. Perlahan hanya singgah dalam logika tapi semakin lama pertanyaan-pertanyaan itu semakin menusuk hatimu.
Ya itulah pertanyaan yang kamu buat sendiri dalam pikiranmu.
Tentang orang lain yang tak punya waktu untukmu.
Tentang orang lain yang tak setulus itu membantumu.
Tentang orang lain yang hanya memikirkan keuntungan mereka.
Apa untungnya memberikan waktu untukmu?
Aku tidak ingin memaksakan pertanyaan-pertanyaan itu pergi, karena aku tahu semakin lama diusir semakin dalam bersemayam dalam hati. Dan semakin menggerogoti.
Biarlah dia pergi dengan sendirinya. Meski prosesnya tidak sebentar… dan tidak mudah.
Jangan suruh dia pergi sebelum mendapati jawaban yang pasti. Mungkin suatu saat nanti akan ada jawaban-jawaban meski tidak untuk menjawab pertanyaan itu.
Lihat lah… dia tak memiliki waktu untukmu seperti yang kamu harapkan!
Sedikit… upss, sekali lagi ada kecaman batin yang muncul. Ingin aku membuangnya seperti sampah, seperti yang diajarkan pada buku-buku psikologi itu. Pikiran burukmu adalah sampah.
Namun ternyata aku tidak begitu saja bisa menyebutnya sampah dan membuangnya begitu saja. Dia masih bagian dari diriku.
Meski semakin lama dia semakin membuatku terpojok dengan pertanyaan-pertanyaan yg tajamnya seperti pedang. Tahu itu tajam kenapa masih dipelihara? Kamu bodoh! Sisi lain diriku menjawabnya.
Ada sesuatu yang aku ingin membiarkannya berproses, melewati baik dan buruknya pikiran. Berharap suatu saat aku menemukan setitik cahaya dari tajamnya pertanyaan diri sendiri.
Dia sejujurnya bukan sampah, dia hanya berusaha melindungi agar tidak terperangkap lagi dalam palsunya harapan manusia. Tak ada yang bisa kamu harapkan dari kebaikan manusia.
Mungkin bukan hari ini. Mungkin besok, atau lusa. Aku bisa mendapatkan jawabannya.
Sekedar balas budi pun tak apa. Luangkan waktu untukku. Jiwaku yang ini sedang menjadi pengemis dari waktu yang dimiliki manusia lain.
Meski aku tidak bercerita. Meski aku hanya ingin kamu duduk di sini, menikmati kesunyian bersamaku tapi pikiran tak bisa ikut sunyi.
Waktu yang kau janjikan untuk bercerita denganku, lewat begitu saja digantikan dengan hari lain.
Haruskah hari ini aku mengharap sama seperti kemarin? Atau ku biarkan saja kamu dengan sifatmu yang begitu, tak bertanggung jawab atas janjimu. Ya… janjimu itu palsu, meski itu hanya soal waktu.
Sudah lah… mungkin kau pun butuh waktu. Bukan untuk kau berikan padaku, tapi untuk dirimu sendiri. Mau bagaimana lagi?
Hanya saja aku sadar, waktu itu sungguh berharga.
Aku dulu membiarkan waktu berlalu untuk tidak mengurus diriku dengan baik, dan sesuai keinginanku. Aku hanya sibuk membiarkan waktu berlalu untuk mengurus mereka yang ada di sekitarku. Kata orang itu perbuatan mulia.
Yang terpenting mulia dihadapan Allah, bukan dihadapan manusia.
Padahal kini aku baru merasakan, yang disebut perbuatan mulia itu ternyata menyakitiku karena aku jadi mengabaikan diriku sendiri.
Apakah dimata Allah tetap mulia meski tidak mengurus diri sendiri? Padahal Dia pemilik sesungguhnya dari dirimu, dirimu yang seutuhnya. Apakah Sang Pemilikmu berkenan begitu saja ciptaanNya terabaikan begitu saja?
Kalau sudah begini aku merasa pelajaran PPKN dulu salah, mementingkan kepentingan orang lain diatas kepentingan diri sendiri. Bukan kah itu sok jadi Allah? Padahal sejatinya hanya Allah yang mampu melakukannya. Mengapa malah mengorbankan dirimu sendiri?
Lihat lah…
Aku lelah. Sungguh aku lelah memberikan waktu itu untukmu. Untuk semua. Yang hanya akan mengabaikanku.
Bagaimana jika aku berbalik arah dulu. Berjeda memberikan waktu untuk diriku sendiri. Aku juga harus bersiap membekali diriku untuk bertemu dengan Sang Pemilik tubuh ini. Pastikan aku bisa menjaganya dengan baik jika kembali padaNya.
Aku tak ingin terkoyak karena arogan berlebihan dalam kebaikan pada manusia lain. Bukan kah itu tidak adil?
Yaa… sudah lah. Biarkan aku dengan jeda ini hingga aku mampu kembali berempati dengan kalian semua.