Berikut ini adalah sebuah
cerita inspirasi fiksi yang ditulis oleh Muhammad Azhar At-Turry dalam blognya.
Meski terbilang fiksi tetapi tersimpan pesan di dalam cerita tersebut yang
berguna juga untukmu.
Simak cerita inspirasi
fiksi berikut ini :
Cerita Inspirasi Fiksi
Tentang Sebuah Impian
KACA DAN MATA
Karya: Muhammad Azhar At-Turry
Embun
pagi mulai kering dan terjatuh perlahan dari ranting pohon dan lembaran daun
pisang di samping pekarangan, serta nyanyian kambing jawa yang semakin lugas
memecah telinga.
Fachri
masih mengayuh sepeda tua warisan bapaknya, seperti biasa ia melewati hamparan
sawah dan kumpulan orang yang sudah berlalu lalang untuk mencari bongkahan
rejeki.
Menyusuri
jalan pedesaan yang becek dan terkadang penuh dengan kerikil tajam mengharuskan
tenaga esktra untuk mengayuh sepeda, apalagi sepeda tua seperti miliknya.
Mentari
yang mulai menyusuri jalan, berlomba dengan putaran roda Fachri yang semakin
kencang dan kuat, hari sudah siang hanya tinggal jejak-jejak roda teman Fahcri
yang kian menghilang diterpa angin. Tepat di tikungan jalan desa, pandangan
Fachri tertutup pohon bambu yang rimbun, dan pandangannya yang kabur,
membuatnya tak tahu dengan jelas apa yang berada di depannya.
Braak…..
Suara tabrakan
terjadi antara kemudi sepeda Fachri dengan bagian kanan sepeda seorang kakek
tua, tak dipungkiri, Fachri pun jatuh dan terpelosok ke saluran irigasi sawah.
“Masya
Allah “
Teriak
Fachri, sembari bergegas berdiri dan berlari menghampiri kakek tua yang
terlihat masih terbaring di atas gundukan jerami bekas panen petani, sementara
sepeda kakek itu terperosok juga dan masuk ke saluran irigasi.
“Kek,
apanya yang sakit, mari ke puskesmas?“
Kata
Fachri dengan memegangi kaki kakek yang sedikit lecet, sembari melihat wajah kakek
yang merintih menahan sakit, namun kakek terdiam dan hanya menggeleng-gelengkan
kepala.
“Maaf
kek, saya tidak sengaja,”
Kata
Fachri dengan nada pengharapan tulus dan memandang kakek tua tersebut
dalam-dalam. Namun kakek itu tetap terdiam tak ada satu kata yang keluar dari
bibirnya. Ia hanya mengangkat tangannnya sebagi isyarat kepada
Fachri untuk berlalu dari hadapannya,
“Sekali
lagi maaf, Kek!“
Kata
Fachri dengan mengusap lumpur yang menempel di wajah dan seragamnya. Lalu ia
berdiri dan mengangkat sepeda kakek yang tercebur ke saluran irigasi. Beruntungnya
saluran tersebut tak begitu dalam, sehingga Fachri dengan mudah mengambil
sepeda kakek. Kemudian ia mengambil lalu menaiki sepedanya dan meninggalkan
kakek tua, dari kejauhan ia melihat kakek tua yang masih diam dan menatapnya
begitu tajam, membuatnya mulai merinding, dengan cepat ia mengayuh sepeda,
hingga tubuh kakek tua mulai hilang dari pandangannya.
Kejadian
seperti ini, bukanlah kejadian yang pertama kali, miopi atau rabun jauh yang
sudah lama di deritanya, mengharuskan ia lebih berhati-hati dalam menaiki
sepeda bahkan dalam berjalan kaki sekalipun, biasanya kecepatan sepedanya tak
lebih dari 5 km per jam. Namun karena hari sudah siang, ia harus lebih cepat
mengayuh sepeda, akibatnya kecelakaan seperti ini tak mampu terhindarkan, selain
itu di tikungan jalan desa tersebut memang sering terjadi kecelakaan, bukan
karena kecerobohan para pengendara semata, tetapi juga karena kondisi jalan
yang tak layak, gobangan air, lubang-lubang jalan dan batu-batu besar yang tak
rata. Pihak desa pun sudah mengajukan permasalahan kepada pemerintah daerah
namun sampai saat ini, hanya tinta hitam di atas putih yang dipenuhi dengan
tanda tangan. Tak ada bukti yang dijalankan, mungkin mereka berfikir membangun
jalan hanya butuh sekedar tanda tangan.
Sinar
mentari kini sudah berada jauh di depan sepeda Fahcri, tak tampak pula
anak-anak sekolah yang biasanya melewati jalan itu, dan para petani sudah
berada di peraduannya.
Kebingungan
pun melanda pikiran Fachri, melanjutkan ke sekolah atau tidak. Jika melanjutkan
pasti gerbang madrasah sudah terkunci dan malah akan dihukum di halaman. Ditambah
pula dengan kondisi seragamnya yang penuh dengan lumpur, jika tidak,…
“Ah…
ke sungai sajalah.“
Batin
Fachri sambil mengayuh pedal sepedanya dengan cepat menuju sungai desa yang
berada tak jauh dari rumahnya. Seperti anak desa yang lainnya sungai adalah
tempat favorit yang dikunjungi, bagi mereka sungai adalah waterboom seperti
di perkotaan.
Diletakkannya
sepeda tua bercat hitam di bawah pohon mahoni. Tampak di kejauhan ia melihat
dua batu yang berhimpitan, di atas gundukan kecil tanah. Lalu ia menuju ke
tempat tersebut, sebuah tempat dimana ia biasanya menuliskan berbagai mimpinya
dan memikirkan segala hal tentang masa depannya.
Ia
sudah sering terlambat datang ke madrasah, teguran satpam, marahan guru, dan
berdoa di depan kelas adalah menjadi hal biasa baginya. Alasannya sama, sebelum
ke madrasah ia harus membantu bapaknya untuk pergi menjual kaca figura ke pasar.
Selain menjadi penggembala, Fachri juga harus menjual kaca yang dipesan oleh
langganan bapaknya. Apalagi jika banyak pesanan seperti pagi ini, maka
terlambat ke madrasah menjadi hal yang pasti. Ditambah pula dengan kejadian
tadi pagi.
Fachri
memandangi gundukan tanah yang ternyata ditindihi dengan satu batu. Namun
karena miopi adalah kelainan mata dimana bayangan benda lebih besar dari
aslinya, sehingga satu benda bisa kelihatan menjadi dua dari jarak akomodasi
maksimum mata. Apalagi jika sudah parah, malah bisa lebih dari dua jika berada
di posisi yang sama dengan Fachri.
Sudah
5 tahun lamanya, tepatnya ketika ia duduk di kelas satu Tsanawiyyah, Fachri
sudah menderita penyakit rabun jauh. Tapi sampai sekarang belum ia obati bahkan
diperiksakan. Kini semakin lama pandangannya semakin kabur. Tak dipungkiri ia
harus duduk di bangku paling depan, agar mampu membaca tulisan guru di papan
tulis. Itupun harus ia lakukan dengan cara menarik ujung kelopak matanya yang
kanan, atau sedikit melototkan matanya, serta menggeser mejanya lebih dekat
dengan papan tulis, agar bayangan benda tersebut jatuh tepat di retina dan
lebih jelas atau kalau tidak demikian, ketika mencatat di papan tulis, ia tak
mencatat, tapi ia meminjam catatan teman sebangkunya. Hamid adalah teman
sebangkunya yang kerap kali membantunya dalam membaca tulisan di papan tulis
dan meminjamkan bukunya kepada Fachri.
Fachri
membuka tasnya dan mengeluarkan selembar kertas serta pena. Kemudian ia
menuliskan suatu hal.
“MIMPIKU“
“Mimpiku
masih sama seperti kemarin, aku ingin memiliki kacamata.“
Setelah
menuliskan beberapa penggal kalimat, Fachri kemudian melipat kertas itu dan
menguburnya di lubang dekat dengan pohon randu, yang biasa ia gunakan untuk
menyimpan kertas-kertas mimpinya. Di dalam lubang itu sudah terisi penuh kertas
dengan coretan-coretan mimpinya, dan semuanya sama, yaitu ia ingin memiliki
sebuah kacamata.
Memiliki
kaca mata adalah salah satu impian terbesarnya dari dulu, ia ingin meminta
kepada bapaknya. Namun ia tak tega karena untuk biaya kebutuhan sehari-hari
saja sudah pas-pasan. Apalagi untuk membeli alat bantu penglihatan yang mahal
itu, setiap kali ia mengeluh kepada ibu ataupun bapaknya, tentang sakit mata
yang ia derita, mereka hanya bilang, banyaklah makan wortel, dan berdoalah,
nanti Allah akan menyembuhkan. Pasti jawaban seperti itulah yang akan ia
terima. Kini ia tak pernah memeriksakan kondisi matanya, yang ia ketahui
matanya kini hanya bisa melihat dengan jelas pada jarak kurang dari satu meter.
“Ehem-ehem!“
Terdengar
suara batuk seorang pria yang khas dan tak asing lagi bagi Fachri. Ia kemudian
menoleh ke belakang, dilihatnya sosok pria paru baya, walau agak samar tapi ia
kenal betul orang itu, tak salah lagi itu adalah Pak Darmo, bapak fachri. Terlihat
pula di belakangnya beberapa puluh ekor kambing jawa yang menikmati rumput
hijau di tepi sungai.
“Bapak
kok gembala di sini ya, biasanya kan di dekat ladang?“
Batin
fachri dengan menundukkan kepala dan tak berani menatap Pak Darmo yang wajahnya
sudah berubah seperi malaikat Malik yang siap melemparkan manusia-manusia jahat
ke Neraka, Fachri hanya terpaku di tempatnya, yang berjarak satu meter dari Pak
Darmo,
“ceter…ceter…”
Dua
pukulan cemeti mengenai kaki Fachri dan berbekas luka lebam merah. Cemeti dari
rotan yang biasa ia gunakan untuk memukul kambingnya yang nakal dan makan
tanaman orang. Kini ia harus merasakannya, ia hanya memejamkan matanya dan
menggigit bibirnya sendiri, untuk menahan sakit yang luar biasa.
“Sejak
kapan Bapak mengajarimu menjadi seorang pembohong? Pamitnya pergi ke sekolah
malah bermain disini. Kau itu satu-satunya harapan bapak karena kakakmu harus
putus sekolah karena kondisi yang tak memungkinkan. Tapi kamu yang memiliki
kesempatan dan peluang itu malah tak memanfaatkannya, mau jadi apa kau ini? Apa
kau lebih bangga jika menjadi penggembala seumur hidupmu? Jika ya, lebih baik
bapak tidak usah menyekolahkan kamu. Jika akhirnya nasib kamu seperti bapak.
Sepeda
itu, lihat sepeda itu, sepeda itu adalah satu-satunya kendaraan yang bapak gunakan
untuk menjual dan mengantarkan kaca. Tapi demi kamu, bapak rela jika harus
pakai gerobak untuk mengantarkan pesanan kaca. Bapak hanya ingin melihat kau
tumbuh dewasa dengan sebuah keberhasilan dan kebanggaan. Bukan menjadi seorang
pembohong. Kalau besar nanti mau jadi apa kau ini? Masih kecil sudah menjadi
pembohong, mau jadi koruptor? Lebih baik menjadi seekor kambing yang makan
tanaman yang sudah menjadi haknya, dari pada sukses tapi membohongi banyak
orang. Kami tak meminta apapun dari kamu, kami juga tak berharap kamu membalas
jasa-jasa kami, kami hanya ingin kamu kelak menjadi orang sukses. Ngerti
kamu…?”
Bentak
pak Darmo dan meluapkan segala amarahnya kepada Fachri yang masih menundukkan
kepalanya. Fachri hanya mengangguk. Baru pertama kali ini ia dimarahi bapaknya
begitu dahsyat. Namun sudah kedua kalinya ia melihat bapaknya marah, yang
pertama adalah dengan Marni, kakaknya. Hal itu bermula ketika Marni ingin
merantau dari pada melanjutkan kuliah karena tak ada biaya. Walaupun aslinya
Pak Darmo pun tak mampu menguliahkan Marni, tapi ia bersikukuh agar kakaknya
itu melanjutkan, agar menjadi orang sukses. Namun karena Marni pun tak mau
menyusahkan, akhirnya terjadi perdebatan antara Marni dengan Pak Darmo, yang
berujung pada perginya Marni tanpa seijin Pak Darmo.
“Pulang
kau… sebelum kemarahanku mencapai puncaknya.“
Gertak
Pak Darmo, dengan wajah yang menahan amarah. Karena mengetahui bapaknya yang
sedang naik pitam, maka Fachri segera berlari menuju ke tempat dimana sepeda
tuanya di sandarkan. Dengan kaki yang terpincang-pincang dan luka lebam yang mulai
membiru, Fachri kemudian berlalu dengan cepat.
Cahaya
mentari yang menyegat menemani perjalanan Fachri ke rumah, berkali-kali
dihapuslah linangan air mata yang mengalir di pipi menggunakan jarinya. Dengan
menahan sakit yang luar biasa pada kakinya, ia tetap melaju bersama sepeda
tuanya,
“Maaf,
Pak, maaf…maaf “
Gerintih
Fachri berkali-kali ia ucapkan , di sepanjang perjalanan. Karena hari ini, ia
telah mengecewakan bapaknya.
“Apakah
hanya karena tak memiliki kacamata aku harus mengecewakan bapak dan ibu?
Jikapun selamanya aku harus seperti ini, aku rela karena bukan hal ini yang
membatasiku untuk bermimpi.“
Batin
Fachri, dengan memandangi hamparan sawah yang hijau. Walau kini ia tak mampu
melihat dengan jelas, tapi setidaknya ia masih memiliki tangan dan kaki dalam
meraih mimpinya. Ia akan membuktikan bahwa penyakit bukanlah hal yang membatasi
dirinya untuk meraih impiannya.
Sementara
itu Pak Darmo masih terpaku di tempat ia berdiri. Kemudian ia
memperhatikan gundukan tanah kecil bekas galian Fachri, karena setiap ia
melihat Fachri di sungai, Fachri pasti menulis sesuatu kemudian menguburnya. Hal
itu membuat rasa penasaran Pak Darmo muncul. Pak Darmo, kemudian mendekati
galian di bawah pohon pisang itu, dibukanya galian itu dan ia pun menemukan
puluhan kertas dengan beberapa coretan. Setelah ia baca, ternyata semua coretan
tersebut berisi sama, namun ketika semua kertas sudah ia keluarkan dari lubang,
ia mendapati satu kertas yang ditaruh di paling dasar dengan warna berbeda dari
lainnya.
“MIMPIKU“
Aku
hanyalah seorang anak penggembala yang tak pantas memiliki banyak mimpi
Mimpiku
sederhana aku hanya ingin memiliki kacamata
Namun
dari mana aku mendapatkannya?
Memang
benar kata bapak,
Orang
miskin tak pantas memiliki mimpi.”
Tulisan
sederhana itu ternyata mampu mengubah Pak Darmo, yang tadinya marah kini
perlahan wajahnya lesu dan tanpa sadar air matanya mengalir. Baru kali ini ia
mengetahui bahwa anaknya, memiliki mimpi seperti itu, ia berpikir bahwa sakit
mata yang dikeluhkan Fachri adalah sakit mata biasa. Namun ternyata baru ia
sadari bahwa penyakit yang sudah dikeluhkan lima tahun yang lalu oleh anaknya
itu cukup berbahaya.
Ia
hanya menasehati Fachri dengan doa yang diberikan oleh Kiai kampungnya, yaitu
membaca Surat Al-Kautsar sebelas kali dan yang paling akhir mengecup kedua ibu
jari kemudian ditempelkan perlahan ke mata yang sakit. Tapi kali ini ia sadar
bahwa untuk mendapatkan kesembuhan juga harus berusaha untuk mencari
obatnya, bukan sekedar berdoa.
“Lalu
bagaimana caranya, ia bisa mendapatkan prestasi selama ini dengan kondisi
matanya yang demikian?”
Batin
Pak Darmo, dengan memandangi beberapa penggal kata yang sudah using. Karena
yang ia tahu selama ini, Fachri selalu mendapatkan prestasi di madrasah. Berbagai
bidang lomba ia juarai, bahkan beberapa piala terpajang di lemari rumahnya, tapi
ia tak tahu jika kedaaan mata Fachri sakit parah.
Bahkan
Fachri pernah bermimpi ingin melanjutkan studinya ke Mesir, namun Pak Darmo
hanya menjawab, “Kita adalah orang miskin tak pantas memiliki banyak mimpi.”
Fachri
tak pernah mengeluhkan sakit matanya, apalagi meminta untuk membelikan sebuah
kaca mata. Ia memang sering sakit kepala, apalagi setelah ia pulang dari
menggembala, tapi obat yang paling manjur adalah tidur. Tapi ia tak pernah
memberi tahu kepada bapaknya, jika hal itu disebabkan penyakit yang menyerang
matanya.
“Andai
bapak mampu membuat kaca mata dengan kaca figura ini, maka bapak akan
membuatkan yang terbaik untukmu, Nak. Tunggu saja, Nak, suatu saat nanti
bapak akan mewujudkan mimpimu.”
Batin
Pak darmo, dengan mengusap air matanya menggunakan bagian bawah bajunya yang
sudah usang dan menguning.
…………………………………………………………………………………………
“Tit…tit…greng..greng“
Suara
sepeda motor Hamid di depan kos-kosan menyadarkan Fachri dari lamunannya. Hamid
yang dulu satu kelas dengannya saat di Madrasah kini juga menjadi teman satu
kampusnya. Karena mereka berdua mendapatkan beasiswa berprestasi di perguruan
tinggi yang sama.
Fachri
mengambil kacamatanya di atas meja, kemudian ia berjalan menuju cermin
berukuran sedang yang tertempel di lemari kamarnya.
“Terima
kasih Pak, engkau telah mewujudkan salah satu impian terbesarku. Engkau rela
menjual kambing-kambing kita hanya untuk membeli kaca mata ini. Walau awalnya
aku malu memakai kaca mata ini, banyak orang yang mencemoohku, bahwa kaca mata
itu yang pantas memakainya adalah orang-orang kaya, dan bapak selalu
mengajariku menjadi orang yang berani untuk menjalani serta mensyukuri
kehidupan.“
Dengan
mengepalkan tangan kanannya dan diletakkan ke dada bagian kirinya tepat di atas
bagian jantungnya. Fachri berkata dengan lantang.
“Orang
miskin pantas untuk memiliki banyak mimpi.“
Fachri
kemudian beranjak pergi, meninggalkan nostalgia yang tersusun rapi untuk mengejar
impian besar yang masih jauh di depan mata dan berceceran.
Pesan Cerita
Inspirasi Fiksi
Mimpi adalah hak setiap
orang. Selama masih hidup, terus lah bermimpi karena impianmu yang akan
membawamu terus hidup dengan segala kebaikan yang ada pada dirimu.
Pesan cerita inspirasi
fiksi tentang sebuah mimpi di atas patut menjadi teladan bagi kita yang masih
merasa malu dan minder punya cita-cita. Sejatinya cita-cita bukan hanya milik
orang kaya, tapi cita-cita adalah milik orang yang mau berupaya mewujudkannya.
Cerita
Inspirasi Fiksi yang Menggugah Hati
Source : http://sumber-pelajar.blogspot.com/2014/02/contoh-kisah-inspiratif-fiksi.html