Tanpa disadari kita masih saja merasa menderita karena masa lalu. Belajar untuk melepaskan dan memaafkan adalah kemampuan yang ternyata sangat penting bagi hidup kita. Masa lalu yang menyakitkan, mengecewakan, bahkan kadang kita sulit untuk memaafkan apa yang terjadi pada masa lalu kita.
Kali ini saya ingin berbagi kepada Anda semua mengenai bagaimana kita bisa belajar untuk melepaskan dan memaafkan. Karena hal ini tidak akan pernah bisa kita jumpai dalam pelajaran sekolah atau mata kuliah Anda. Ini adalah pengalaman yang berharga untuk hidup kita dan beberapa dari kita ada yang sedang mengalami atau belum merasakannya.
Belajar untuk melepaskan dan memaafkan seperti kita menggenggam sebuah botol berisi air. Jika kita menggenggamnya dalam waktu singkat, misalkan 5 menit saja. Hal itu tak akan berpengaruh bagi kita. Namun ketika kita menggenggamnya dalam waktu lama hingga 24 jam. Bayangkan apa yang terjadi?
Ya…tangan kita akan sakit, merasa pegal, kesemutan, dll. Air dalam botol itu tidak berubah, yang berubah adalah efek dari seberapa lama kita menggenggamnya.
Jika botol itu seperti sebuah masalah, tantangan, kekecewaan, kecemasan, kesedihan, apa yang terjadi? Seberapa lama kita kuat menahan sakitnya?
Tanpa kita sadari seringkali kita masih terjebak pada hal-hal yang negatif, yang mengotori pikiran kita. Kita terus saja mencari obatnya untuk menyembuhkan luka batin, tapi tak kunjung ada.
Permasalahannya ada pada bagaimana Anda belajar untuk melepaskan rasa negatif yang ada. Karena kita tak bisa menyembuhkan diri kita sendiri dengan menghancurkan orang lain. Hal itu akan menumpuk kebencian Anda dan tidak akan pernah pergi dari pikiran Anda.
Hal yang pernah saya alami, saya adalah salah satu dari sekian banyak anak yang merasa harus berjuang sendiri dalam hidup. Karena kondisi orang tua yang tidak mungkin atau tidak menginginkan untuk bisa merawat saya. Beberapa tahun saya masih menggunakan kata “tidak menginginkan” karena banyak orang yang mengatakan hal-hal buruk mengenai orang tua saya. Dan itu sukses membuat saya menanam kebencian pada mereka.
Saya menjadi selalu menyalahkan mereka atas kehidupan yang tak berpihak pada diri saya. Atas semua ketidaknyamanan dan sakit hati saya. Dan atas rasa berbeda dari teman-teman lainnya.
Saya mulai menyadarinya sejak duduk di bangku SD. Hingga saya lulus kuliah dan bekerja pun saya masih memiliki pikiran itu. Terlalu lama saya menggenggam botol itu hingga rasa sakit hati itu seperti enggan pergi dari hidup saya.
Dan puncaknya ketika bapak saya jatuh sakit, cukup parah sakit yang ia derita. Tapi lagi-lagi saya menyalahkannya atas keadaan yang menimpa saya. Saya harus berusaha mencari uang untuk membayar hutang-hutang saya di perusahaan tempat saya bekerja, tapi juga harus memikirkan kondisi bapak saya yang sering tidak stabil karena harus cuci darah.
Kondisi waktu itu mengharuskan bapak dirawat oleh nenek dan adik kandung bapak. Karena saya masih terlalu sakit hati untuk bisa merawatnya secara intens.
Hingga waktu yang ditentukan-Nya tiba, bapak saya harus berpulang. Tak ada tawar-menawar. Tak ada kesempatan untuk bisa memutar balik waktu. Saya seperti child of nobody. Terlebih saya adalah anak satu-satunya dan ibu pun sudah tiada 5 tahun yang lalu.
Saya merasa tidak baik bagi mereka ketika saya masih menggenggam kebencian dan sakit hati padahal mereka sudah tak ada lagi di dunia ini.
Sampai kapan saya harus menggenggamnya? Semuanya membuat saya seperti menjadi gila. Yang dibenci sudah tiada, yang menyakiti sudah tiada. Lalu kenapa rasa itu masih bersemayam di dalam hati?
Ternyata saya belum bisa menerima dan memaafkannya. Ada beberapa hal yang kemudian saya pikirkan kembali, saya terus belajar tentang self development dan mencari tahu sendiri bagaimana saya bisa menyembuhkan luka-luka ini.
Saya melihat masa depan melalui pasangan hidup saya. Bagaimana saya bisa masih menyimpan rapat dan membawa semua luka kemanapun saya pergi? Kenyataannya saya tidak mau orang-orang yang saya cintai merasakan hal yang sama. Kadang saya enggan berbagi rasa itu dengan pasangan saya. Saya pun memikirkan tidak ingin anak-anak saya kelak merasakannya. Saya ingin memiliki keluarga yang harmonis dan baik-baik saja.
Yang perlu saya lakukan ketika saya memutuskan harus belajar untuk melepaskan dan memaafkan adalah :
Pertama, saya tidak perlu perduli lagi dengan perkataan orang lain. Entah itu dari saudara, temab baik, atau orang-orang yang kita anggap baik dan kita menghormatinya. Mengganggap mereka ada tidak harus mendengarkan kata-kata mereka. Kita masih bisa memilih dengan hati nurani mana perkataan yang baik dan buruk. Saya tidak mau membiarkan kata-kata negatif terus-menerus mengganggu pikiran saya.
Kedua, saya tidak perlu menyalahkan orang lain atas apa yang menimpa diri saya. Belajar dari pengalaman masa lalu bahwa menyalahkan orang lain tidak bisa mengubah keadaan menjadi lebih baik. Mungkin memang benar orang lain yang mengakibatkan rasa sakit itu. Tapi kenyataannya saya tidak bisa menghentikan mereka, karena saya tidak bisa mengendalikan hidup orang lain.
Ketiga, saya harus paham bahwa semua yang terjadi dalam hidup saya adalah ijin dari-Nya. Tuhan mengijinkan semua itu terjadi pada diri saya. Artinya itulah yang terbaik bagi saya. Jangan ambil keburukan yang menimpa, tapi percaya dan yakin bahwa selalu ada alasan terbaik Tuhan mengapa mengijinkan kita merasakan derita, sakit hati, dan kecewa.
Belajar Untuk Melepaskan dan Memaafkan dari Tokoh-Tokoh Dunia
Jangan lah bersikap seolah-olah diri sendiri yang paling memiliki kehidupan menyedihkan di dunia ini. Rasa kasihan yang berlebihan pada diri sendiri tidak bisa menyembuhkan luka yang terlanjur menganga.
Seperti kata Nelson Mandela saat dia keluar dari penjara,”Ketika saya melangkah keluar menuju gerbang kebebasan saya, saya tahu jika saya tidak melepaskan kepahitan dan kebencian saya, maka saya akan terus berada di penjara”.
Jangan mengotori pikiran kita dengan membiarkan rasa iri dan kemarahan masuk ke dalam pikiran kita. Seperti yang diucapkan Mahatma Gandhi,”Saya tidak akan membiarkan orang lain menginjak pikiran saya dengan kaki yang kotor”. Tanpa kita sadari bahwa sepatu kita lah yang kotor yang telah menginjak pikiran kita sendiri.
Belajar untuk melepaskan dan memaafkan serta kemampuan untuk bangkit menghadapi kesulitan yang disebabkan orang lain adalah kemampuan yang sangat penting. Karena kita perlu belajar menerima permintaan maaf yang tidak biasa kita terima.
Sang Buddha berkata,”Kebencian itu seperti meminum racun dan berharap orang lain yang mati”.
Lalu mau sampai kapan kita membiarkan racun terus-menerus menggerogoti hidup kita? Belajar untuk bisa memaafkan dan melepaskan adalah yang terbaik bagi hidup kita. Dan serahkan kembali semua urusan kita pada-Nya. Biarkan Dia yang bekerja untuk kita.