Tanpa sadar seringkali kita berada pada standar hidup orang lain. Kita pikir dengan memenuhinya kita akan bahagia. Namun sadarlah apa kebahagiaan sejati itu, apakah terletak pada harta, uang, kesuksesan? Tidak sama sekali.
Banyak orang yang sukses tapi dia gagal mencapai kebahagiaan dirinya sendiri. Banyak orang terkenal, selebriti, artis yang mendunia tapi mereka merasa tidak bahagia dan akhirnya bunuh diri.
Kadang apa yang kita lihat berbeda dengan kenyataan yang dia rasakan. Sering kita menilai orang bahwa dia akan bahagia ketika bisa menjadi pegawai BUMN. Dia akan bahagia ketika dia mampu membeli mobil yang dia inginkan. Bahkan dia akan bahagia ketika dia bisa keliling dunia.
Mungkin pendapat itu benar ketika kita merasakan tidak lebih dari 30 menit. Setelah itu akan sirna dan kita akan mendapati diri kita bertanya,”so, what next?”.
Itulah manusia ketika dia pikir akan lebih bahagia ketika mampu mendapatkan segala sesuatu yang diimpikan tapi ternyata setelah mencapainya rasa bahagia itu seperti datang sekejap dan menghilang. Kepuasan manusia yang tak terbatas membawa manusia itu sendiri hidup dalam keserakahan untuk memperkaya dirinya sendiri.
Lalu kapan bisa dikatakan bahagia?
Bahagia adalah hati kita sendiri yang merasakan. Tidak ada gunanya ketika kita berjuang untuk bisa bahagia dengan standar kehidupan yang diberikan oleh orang lain, meski itu orang tua, keluarga kita sendiri.
Ada 3 hal dalam hidup ini yang mengendalikan kita, yaitu waktu, harta, dan kesehatan
Saat kita masih kecil kita memiliki banyak waktu untuk dihabiskan, untuk bisa mengeksplorasi, dan untuk bermain. Namun kita tak tahu bagaimana bisa membeli sesuatu karena kita tidak bisa mendapatkan uang dengan diri kita sendiri. Meski kita dalam kondisi sehat.
Saat kita beranjak dewasa, kita mulai bisa menghasilkan uang dan kesehatan kita masih baik meski akan termakan usia. Namun kita tak memiliki waktu karena kita sibuk dengan pekerjaan dan urusan kita.
Saat kita mulai menua, kita memiliki banyak uang dan waktu. Namun kita tak memiliki kesehatan untuk menikmati kekayaan kita. Kita lebih sering menghabiskan waktu untuk berobat dan mengunjungi rumah sakit.
Sadarlah apa kebahagiaan sejati itu, uang bisa membeli rumah tapi tak bisa membeli keluarga, uang bisa membeli jam tapi tak bisa membeli waktu, uang bisa membeli buku tapi tak bisa membeli ilmunya, uang bisa membeli ranjang tapi tak bisa membeli tidur.
Kita bisa dikatakan sukses ketika kita mendapatkan segalanya tapi kita merasa bahagia kita memberikan sesuatu kepada orang lain.
Cerita inspiratif Muniba Mazari dalam artikel sebelumnya juga berpendapat bahwa hidup itu bukan tentang kita bisa bekerja sepanjang waktu dan mendapatkan uang karena itu hanya hidup untuk diri kita sendiri. Namun hidup yang sebenarnya adalah ketika kita mampu memberikan apa yang kita miliki pada orang lain, ketika bisa bermanfaat bagi orang lain. Itulah hidup.
Seperti pengalaman saya sendiri yang hidup dengan standar kehidupan yang diberikan orang lain. Saya besar dalam lingkungan keluarga yang menilai kesuksesan saya berasal dari sekolah terbaik yang menerima saya menjadi siswanya, saya bisa melanjutkan kuliah di universitas paling bagus di Indonesia, dan jika saya bisa mendapatkan pekerjaan yang bisa menghasilkan banyak uang.
Saya ikuti alur tersebut dengan perjuangan yang saya pikir saya akan bahagia ketika saya telah mencapai itu semua. Pekerjaan saya mampu untuk bisa membeli mobil, biaya pernikahan sendiri, membeli rumah, dan diandalkan oleh keluarga besar dalam hal permodalan.
Harusnya saya sudah bahagia dengan itu semua. Tapi kenapa semakin banyak uang hidup saya semakin tidak bahagia?
Akhirnya saya sadar bahwa cara saya salah dalam pekerjaan ini. Pekerjaan ini seperti rentenir yang dilegalkan oleh negara. Dan saya memutuskan untuk berhenti dengan masih menanggung hutang dari pinjaman karyawan perusahaan tanpa jaminan hingga ratusan juta. Saat masih menjadi pegawai saya yakin bisa melunasinya sesuai jatuh tempo yang diberikan karena gaji saya lebih dari cukup. Tapi bukan itu ternyata yang Allah ridhoi dari kehidupan saya dan saya harus memilih untuk meninggalkannya.
Pengalaman ini tidak jauh dari bagaimana kesadaran apa kebahagiaan sejati itu. Waktu itu saya terlalu fokus mengumpulkan uang dan saya anggap keluarga saya baik-baik saja ketika saya mampu memberi mereka uang. Namun saya kehilangan waktu dengan orang tua saya dan akhirnya ibu saya meninggal tanpa saya bisa disampingnya. Betapa saya menyesal waktu itu karena merasa tak punya waktu.
Sadarlah apa kebahagiaan sejati itu, yang ternyata tidak terletak pada uang, harta, kekayaan, jabatan, dan kendaraan.
Maya Angelou berkata,”Orang akan melupakan apa yang kamu katakan, orang akan melupakan apa yang sudah kamu lakukan, tapi orang tidak akan pernah melupakan bagaimana kamu meninggalkan kesan bagi kehidupannya”.
Dan kesan itu tidak selalu berbentuk harta dan uang. Seperti diri kita, mereka pun tak akan pernah bisa bahagia hanya dengan mendapatkan uang. Namun lebih dari itu, ilmu yang kita miliki, waktu yang kita punya, tenaga yang kita miliki untuk membantu dan menyentuh kehidupan mereka itulah yang menjadi dampak dan warisan yang kita tinggalkan bagi mereka.
Sadarlah apa kebahagiaan sejati itu, yang tidak selalu berujung pada soal uang dan kesuksesan. Kita akan lebih bahagia ketika bisa bermanfaat bagi sesama.