Bagian budaya dominasi pria dalam masyarakat yang sangat berdampak bagi rasa kemanusiaan kita dan bertentangan dengan prinsip prinsip universal HAM adalah terjadinya honour killing. Diruntut dari sejarahnya, perbuatan honour killing sebenarnya sudah ada sebelum agama agama besar ada.
Praktek mengubur hidup hidup bayi perempuan yang lahir sudah lazim dijalankan oleh kaum Kafir Qurais di jaman jahiliyah sebelum Islam disebarkan oleh Nabi Muhammad SAW di Jazirah Arab. Kejadian serupa juga ditemukan pada bangsa Aztec dan Inca di Benua Amerika. Pada bangsa Roma dan Yunani Kuno, perempuan yang kedapatan atau dituduh berzina harus dienyahkan sebagai tindakan penyucian diri para pelaku. Hukuman pendosa oleh bangsa Mesir adalah mutilasi, bangsa Cina menghukum mati melalui injakan gajah, dan bangsa Babilon menyuruh pelaku menyebur ke sungai. Dalam cerita rakyat Indonesia Ramayana, Shinta pun harus membuktikan kesucian dirinya dari noda Rahwana dengan cara membakar diri.
Komisi HAM PBB mengumpulkan laporan laporan dari sumber terbuka maupun laporan lisan, bahwa berbagai bentuk honour killing masih tetap dilakukan di jaman yang modern seperti saat ini. Secara umum, budaya honour killing merupakan bentuk penghukuman termasuk pembunuhan seorang wanita oleh ayah, saudara laki- laki atau anggota keluarga lainnya karena dianggap mencemarkan kehormatan keluarga, seperti menolak menikah pilihan keluarga (arranged marriage), menikah dengan pilihan sendiri, berselingkuh, dan berperilaku seks menyimpang (homo atau lesbian), dll.
Honour killing yang dalam Bahasa Urdu (Pakistan) disebut Karo Kari yang arti harfiahnya adalah pria pendosa (Karo) dan wanita ternoda (Kari), dimana asal mulanya dikaitkan dengan keterlibatan pria wanita dalam hubungan asmara sebelum atau di luar ikatan perkawinan. Apabila seorang wanita berbuat kari, yaitu melakukan hubungan asmara dengan lelaki yang bukan suaminya, maka akan dianggap aib atau noda bagi keluarga yang harus dihukum termasuk dilenyapkan atau dibunuh oleh ayahnya.
Komisi HAM Pakistan serta LSM lokal untuk perlindungan wanita Aurat Foundation mencatat sekitar 1000 wanita di Pakistan terbunuh dalam tradisi honour killing. Masyarakat di Pakistan nampaknya terbentuk berdasarkan pemikiran yang diskriminatif terhadap perempuan (deep-rooted gender bias). Kaum wanita hanya ditempatkan sebagai alat produksi keturunan, properti, komoditi, lambang kehormatan pria. Orang tua lah yang mengatur jodoh anak-anaknya, yang biasanya dilakukan dengan sanak saudara terdekat sehingga harta keluarga besar tidak pindah ke tangan keluarga lain, atau sebagai upaya menyelesaikan konflik antar suku maupun kelompok.
Sejumlah kasus honour killing telah menjadi perhatian dunia internasional, yang tidak kalah menghebohkan adalah kasus pembunuhan seorang model dan bintang media sosial dari Multan, Punjab bernama Qandeel Baloch pada Bulan Juli 2016. Dia dibunuh oleh saudara laki lakinya karena dianggap bersikap di luar tradisi komunitasnya yang masih meyakini bahwa perempuan dilahirkan untuk tinggal di rumah dan hanya patuh pada tradisi. Kasus ini telah mendorong PM Nawaz Sharif bersama parlemen Pakistan pada Oktober 2016 untuk mengesahkan undang undang anti karo kari dengan ancaman hukuman 25 tahun penjara hingga hukuman mati bagi pelaku honour killing. Namun hukum tersebut belum berlaku secara efektif karena kuatnya tradisi kesukuan yang menganggap kasus karo kari sebagai perbuatan untuk menegakkan kehormatan keluarga.
Banyak kasus karo kari yang tidak diproses secara hukum karena dianggap urusan internal keluarga, dan pembunuhan karo kari sendiri sering dilaporkan sebagai kasus bunuh diri atau kecelakaan. Dalam sistem perundangan di Pakistan ini juga masih ada celah bagi pelaku karo kari untuk lolos dari jeratan hukum dengan cara membayar diyat (uang kompensasi) dan keluarga korban bersedia memaafkan pelaku honour killing.
Berdasarkan latar belakang dan tradisi keluarga di Balochistan ini menyebabkan Muniba Mazari bersedia untuk menikah diusia dini. Dalam keluarga baloch, dianggap tidak lazim jika anak menolak permintaan orang tuanya. Dengan alasan demi keluarganya, maka Muniba Mazari menikah dengan orang yang juga pilihan orang tuanya, bukan pilihan dirinya sendiri.